KORANJURI.COM – Desa Bengkala di Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali, memiliki jumlah penyandang bisu tuli cukup banyak. Karena banyaknya penyandang cacat bawaan itu, Desa Bengkala kemudian disebut dengan Desa Kolok.
Dari sekitar 2.730 warga yang tinggal di desa Bengkala, 40 orang diantaranya mengidap kelainan bisu tuli. Angka itu terbilang cukup tinggi.
Mengingat, normalnya bisu tuli bawaan hanya terjadi pada satu dari 10 ribu kelahiran. Kondisi itu secara tidak langsung memunculkan gaya Bahasa isyarat sendiri di antara sesama penderita bisu tuli di Desa Bengkala.
Mereka saling memahami ekspresi dan gerak tubuh mereka saat berkomunikasi, tidak seperti bahasa tubuh baku untuk penderita bisu tuli. Bahasa isyarat mereka jauh lebih sederhana.
Hubungan antar warga yang normal tidak menderita kecacatan dengan warga lainnya yang mengalami bisu tuli atau Kolok juga tidak ada masalah dan selalu harmonis.
Desa itu punya lima banjar, yakni Punduh Jero, Tihing, Basta, Asem, Kutuh, dan Coblong, yang selalu ramai dengan bahasa isyarat.
Di lima banjar itu ada sembilan keluarga kolok. Seorang warga desa yang ikut menaungi sebuah paguyuban penderita kolok Bernama I Ketut Kantha mengatakan, di desanya juga terdapat sekolah yang dikhususkan untuk warganya yang mengalami disabilitas.
“Kami punya sekolah khusus tingkat SD untuk anak-anak kolok yang namanya sekolah inklusi. Sekolah itu berada di satu lingkungan sekolah dasar umum dan mereka berinteraksi dengan anak-anak normal lainnya. Hanya saja, kami menempatkan siswa disabilitas di ruang khusus,” jelas Kantha beberapa waktu lalu.