KORANJURI.COM -Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo (UMPWR) dan mahasiswa melakukan kegiatan Pengabdian Masyarakat di SLB Muhammadiyah Purworejo pada Jum’at (09/05/2025) lalu.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UMPWR melaksanakan program pengabdian masyarakat dengan mengembangkan Alat Peraga Berbasis Edutaintment (pendidikan dan hiburan) serta Kearifan Lokal untuk pembelajaran IPA di SLB Muhammadiyah Purworejo.
Nur Ngazizah, dosen PGSD UMPWR menyebut, kegiatan ini ditujukan bagi siswa tunagrahita kelas 4, 5, dan 6 guna meningkatkan minat dan pemahaman mereka terhadap ilmu pengetahuan alam melalui media yang menyenangkan dan sesuai dengan konteks budaya lokal.
“Tim pengabdi terdiri atas mahasiswa dan dosen UMPWR yaitu Nur Ngazizah dan Muhammad Ferdian, melakukan observasi terlebih dahulu untuk memahami kebutuhan siswa tunagrahita di SLB Muhammadiyah Purworejo,” ujar Nur Ngazizah, Rabu (14/05/2025).
Berdasarkan hasil observasi, akhirnya dirancang alat peraga sederhana namun interaktif, seperti kincir angin panca indra, puzzle sistem pencernaan manusia, dan solar system tata surya, dengan berbahan lokal yang mudah dipahami oleh anak-anak berkebutuhan khusus.
Pihaknya, kata Nur Ngazizah, ingin membuat pembelajaran IPA tidak hanya mudah dicerna, tetapi juga menyenangkan bagi siswa tunagrahita. Alat peraga ini didesain dengan pendekatan edutainment serta memanfaatkan kearifan lokal agar lebih dekat dengan keseharian mereka.
Kegiatan ini, menurut Nur Ngazizah, mendapat respons positif dari guru dan siswa.
Salah seorang guru SLB Muhammadiyah Purworejo menyatakan, bahwa anak-anak sangat antusias belajar dengan alat peraga ini. Mereka lebih aktif dan senang karena pembelajarannya tidak monoton.
Kepala SLB Muhammadiyah Purworejo, Santi Chandra Titisari sangat mengapresiasi inisiatif tim LPPM UMPWR.
Dia berharap alat peraga ini dapat terus digunakan dan dikembangkan demi meningkatkan kualitas pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus.
Nur Ngazizah menambahkan, program ini merupakan bagian dari komitmen LPPM UMPWR dalam mendukung pendidikan inklusif dan pemanfaatan kearifan lokal untuk pembelajaran yang lebih bermakna.
Kedepan, tim berencana melakukan pendampingan lebih lanjut serta memperluas pengembangan alat peraga serupa di sekolah-sekolah lain.
“Dalam era pendidikan yang semakin kompetitif dan inovatif, upaya peningkatan kualitas pembelajaran melalui pengembangan alat peraga menjadi prioritas utama,” terang Nur Ngazizah.
Yakni, kata Nur Ngazizah, dengan berupaya menciptakan media yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga mampu merangsang keingintahuan dan kemampuan berpikir kritis siswa.
Salah satu langkah strategis adalah melatih guru untuk merancang dan memanfaatkan alat peraga yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Di kelas 4, ujar Nur Ngazizah, perhatian khusus diberikan kepada pengembangan Kincir Angin Panca Indra. Alat peraga ini dirancang untuk membantu siswa memahami fungsi dan peran panca indra secara langsung.
Dengan menggunakan berbagai bahan sederhana, guru dan siswa bekerja sama membuat kincir angin yang terpasang indikator panca indra. Melalui alat ini, siswa dapat merasakan dan mengidentifikasi indra seperti penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecap secara praktis.
Alat peraga ini tidak hanya memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga menumbuhkan kreativitas siswa dalam mengembangkan media pembelajaran sendiri.
Sementara itu, di kelas 5, guru mengembangkan Puzzle Pencernaan sebagai media untuk memvisualisasikan proses pencernaan makanan. Puzzle ini berbentuk potongan gambar organ-organ pencernaan, mulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, hingga usus besar.
Siswa diajak menyusun puzzle sesuai urutan sehingga mereka paham tahapan proses pencernaan secara menyenangkan. Penggunaan puzzle pencernaan ini sangat efektif karena mampu menarik minat siswa untuk belajar lebih aktif.
“Mereka tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu mengaplikasikan pengetahuan tersebut melalui kegiatan menyusun dan berdiskusi bersama teman. Pendekatan ini mampu meningkatkan hasil belajar sekaligus mengasah kemampuan motorik halus mereka,” ujar Nur Ngazizah menjelaskan.
Selain itu, di tingkat kelas 6, pengembangan model Sistem Tata Surya Solar System menjadi fokus utama. Alat peraga berbentuk model 3D ini menampilkan planet-planet lengkap dengan orbitnya. Dengan menggunakan bahan seperti styrofoam, plastik, dan cat warna-warni, guru dan siswa bersama-sama membuat model yang sangat nyata dan menarik.
Model tata surya ini memberikan pengalaman langsung tentang posisi, jarak, dan ukuran planet-planet di tata surya. Siswa dapat melihat secara visual bagaimana jarak antar planet dan posisi relatifnya, yang sebelumnya sulit dipahami melalui buku teks saja.
Media ini juga mampu menumbuhkan rasa kagum dan rasa ingin tahu terhadap alam semesta.
Pengembangan alat peraga berbasis pengalaman ini didampingi oleh tenaga pendidik profesional yang melatih guru dalam merancang dan memanfaatkan media secara efektif.
Sistem pelatihan ini bertujuan untuk membekali guru agar mampu menciptakan media yang menstimulasi seluruh aspek kecerdasan siswa. Lebih jauh lagi, pelatihan ini juga menekankan pentingnya kreativitas dan konteks lokal dalam pengembangan media pembelajaran.
Guru didorong agar memodifikasi alat peraga sesuai dengan lingkungan sekitar dan kebutuhan siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih relevan dan bermakna. Selain dari segi materi, pelatihan juga membekali guru dengan keterampilan pedagogis dalam mengajar menggunakan media ini.
“Mereka diajarkan cara menyusun pertanyaan yang menantang, membuat kegiatan yang interaktif, serta menilai efektivitas alat peraga yang dikembangkan,” ungkap Nur Ngazizah.
Menurutnya, kegiatan ini sangat didukung oleh para kepala sekolah dan pengawas pendidikan setempat, yang menilai bahwa inovasi media pembelajaran mampu meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.
Mereka juga menyadari bahwa kreativitas guru dalam mengembangkan media menjadi faktor utama dalam keberhasilan proses belajar. Tak hanya berhenti di pelatihan, kegiatan ini juga diikuti dengan pendampingan berkelanjutan.
Guru mendapatkan kesempatan untuk berkonsultasi dan berbagi pengalaman dalam penggunaan alat peraga secara langsung di kelas, sehingga penyesuaian dan perbaikan dapat dilakukan secara kontinyu.
Dampak positif dari pengembangan ini pun mulai terasa, dengan penurunan tingkat kebosanan siswa dan meningkatnya keaktifan mereka saat belajar. Mereka tampak lebih antusias dan lebih mampu menjelaskan kembali konsep yang dipelajari secara mandiri.
Selain itu, sebut Nur Ngazizah, pengembangan alat peraga berbasis inovasi ini diyakini mampu membentuk siswa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kreatif dan kritis. Mereka diajak berpikir analitis dan saat menghadapi tantangan belajar yang lebih kompleks. Dalam jangka panjang, diharapkan siswa akan mampu mengaplikasikan konsep-konsep yang dipelajari secara praktis dan kontekstual, sesuai dengan kebutuhan zaman.
“Guru-guru pun diharapkan terus berinovasi memunculkan media-media edukatif yang relevan dan efektif untuk mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan pengembangan alat peraga ini merupakan bagian dari strategi besar dalam meningkatkan mutu pendidikan dasar,” kata Nur Ngazizah.
Melalui kolaborasi dan kreativitas, diharapkan Pendidikan di SLB mampu mengasah potensi setiap siswa secara optimal, serta menanamkan kecintaan terhadap belajar sepanjang hayat.
“Dengan keberhasilan inovasi ini, di masa depan diharapkan lebih banyak sekolah yang mampu mengikuti jejak tersebut, menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan, aktif, dan bermakna bagi semua peserta didik,” pungkas Nur Ngazizah. (Jon)





